Seiring dengan berkembangnya gaya hidup yang lebih sehat, raw food diyakini akan mendapat tempat di tengah masyarakat.
Meski sering dikonsumsi dalam sejumlah makanan tradisional di Indonesia - lalapan, salad/selat, rujak ataupun karedok dan beberapa jenis makanan lainnya - istilah raw food ternyata belum terlalu populer dan mendapat perhatian serius dari masyarakat.
Konsep Raw food sendiri sejatinya adalah makanan mentah yang tidak dimasak lebih dari 45 derajat Celcius (118 derajat Fahrenheit) dengan cara digoreng, dibakar, dipanggang ataupun dengan cara pemanasan lainnya, termasuk juga soal tidak dimasak dengan cara-cara tertentu.
Bisa jadi, menyebut kata raw food mungkin masih terdengar sangat asing dan bakal menjadi bahan pertanyaan lanjutan bagi sebagian besar orang Indonesia yang mendengarnya.
Mengkonsumsi bahan makanan mentah seharusnya bukanlah sebuah soal yang berat untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Kekayaan kuliner Nusantara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, pastinya mengenal beraneka ragam sayur ataupun buah mentah.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di sebagian besar masyarakat Barat. Istilah raw food telah menjadi tren makanan sehat yang dinyatakan memiliki kekayaan nutrisi, vitamin, mineral dan lain sebagainya.
Konsep hidup yang sehat dan kembali ke alam ini, bahkan telah menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan.
"Gerakan makanan mentah telah tumbuh lebih cepat dari gerakan vegetarian, karena setiap orang tidak harus memberikan apa-apa kedalam makanannya. Mereka cukup mengkonsumsi makanan mentah. Semakin sering mereka makan, akan terasa lebih baik lagi," imbuh Cherie Soria, seorang pakar Raw Food dan pendiri Living Light Culinary Institute di Fort Bragg, Amerika Serikat dalam wawancaranya dengan laman rawguru.
Masih belum terlalu dikenalnya konsep atau istilah raw food di kalangan masyarakat Indonesia, juga diakui oleh Chef Gatot Susanto.
Pria yang menjabat sebagai Executive Chef Hotel Aston Paramount Serpong ini, biasa menangani pesanan makanan raw food dari para tamu yang menginap di hotel tersebut.
Menurut dia, selama ini kebanyakan tamu lokal yang dilayaninya sangat jarang memesan makanan yang masuk dalam kategori raw food.
Uniknya, kalau disebutkan beberapa jenis makanan seperti smoothie, jus, salad, steak tartare (daging sapi mentah), Beef Carpaccio (irisan daging sapi mentah) ataupun Sashimi (irisan ikan mentah ditambah irisan sayuran segar), mereka mengakui pernah mencicipi makanan tersebut.
"Kebanyakan pemesan jenis makanan tersebut adalah ekspatriat atau orang asing yang memang telah mengenal konsep raw food itu sendiri. Mereka beranggapan, makanan raw food itu lebih segar dan memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik," tambah dia.
Dalam pengolahan makanan tersebut, Chef Gatot menyatakan diperlukan standar ekstra ketat karena terkait dengan faktor kebersihan, tekstur, rasa dan kesegaran makanan itu sendiri.
"Pastinya, semua koki yang menyiapkan makanan tersebut harus menggunakan sarung tangan dan peralatan standar dapur dalam mengolah makanan," tambah Chef yang memiliki spesialisasi Western dan Italian food ini.
Chef Gatot sendiri beranggapan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah jenis makanan yang termasuk dalam golongan raw food.
Ia memberi contoh tentang makanan rujak, lalapan ataupun karedok yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Jawa Barat.
Selain itu, masyarakat yang tinggal dikawasan pesisir juga sering menciptakan makanan yang berasal dari ikan mentah yang segar dan mirip dengan Sashimi.
Tak tertutup pula kemungkinan sejumlah daerah lainnya memiliki makanan yang sama, dengan penamaan berbeda.
"Sebenarnya, masyarakat kita juga telah mengkonsumsi raw food. Namun, kebanyakan tidak menyadari kategori apa yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsinya. Hal ini tentu berbeda dari kalangan masyarakat barat yang memang mempelopori hal itu," tambah dia.
Meski begitu, dia juga berkeyakinan bahwa konsep makanan ini lambat laut akan semakin dikenal dan mendapat tempat di kalangan masyarakat seiring dengan berkembangnya gaya hidup yang lebih sehat.
"Mungkin kalau sekarang masih belum terlalu dikenal. Tapi dalam waktu mendatang, bisa saja hal ini menjadi tren sendiri di kalangan pecinta makanan," pungkasnya. [Feriawan Hidayat-Beritasatu]
Fenomena parodi iklan Klinik Tong Fang di media sosial membuat publik menjadi penasaran, bagaimana sebenarnya metode pengobatan ala China ini. Disebut dengan istilah populer Traditional Chinese Medicine (TCM), banyak pelajar asal Indonesia yang menuntut ilmu ke negeri Tirai Bambu itu.Felix (25), adalah salah satu dari sekian orang Indonesia yang belajar pengobatan tradisional China. Namun jalur yang ditempuhnya bukan belajar pada tabib atau shinse. Dia berkuliah di jurusan kedokteran di Beijing University of Chinese Medicine. Selama lima tahun, dari 2006 hingga 2011, dia mempelajari ilmu kedokteran ala China."Tahun pertama semua pelajaran sama seperti pendidikan kedokteran umum, seperti anatomi, farmakologi, biokimia, patologi. Kita belajar dasar-dasar ilmu kedokteran," ujarnya dalam perbincangan dengan merdeka.com.Namun yang menjadikannya sulit adalah, bahasa pengantar yang digunakan selama kuliah adalah bahasa Mandarin, termasuk semua buku teks pelajaran. Setelah semua pelajaran dasar kedokteran umum itu dikuasai, Felix mengatakan dia baru mulai mempelajari dasar ilmu pengobatan tradisional China.Materi pertama yang diajarkan adalah filosofi pengobatan tradisional China. Dalam paradigma pengobatan China, kata Felix, segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. "Timbulnya penyakit biasanya disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh manusia. Dengan memahami ketidakseimbangan itu maka cara pengobatan dan pencegahan penyakit dilakukan," jelasnya.Felix memaparkan, teori yang diajarkan dalam pengobatan tradisional China mengacu pada beberapa acuan filsafat seperti teori Yin-yang, lima unsur atau Wu-xing, sistem meridian tubuh manusia atau Jing-luo, teori organ Zang Fu, dan berbagai jenis teori lainnya. Diagnosis dan penyembuhan dirujuk pada konsep-konsep tersebut."Kalau dokter umum pakai stetoskop, kita diajarkan cara mendiagnosa penyakit pasien melalui pegang nadi dan melihat lidah," tukasnya.Dia melanjutkan, ada juga teknik diagnosa yang lebih tinggi dengan cara melihat aura pasien. Sebab, aura orang yang sedang sakit berbeda dengan aura orang sehat. Tapi untuk teknik ini, tidak sembarang orang bisa melakukan karena butuh bakat khusus. "Selain itu, kalau diagnosa dengan melihat aura agak sulit dijelaskan dengan ilmiah, jadi jarang dipakai."Menurut Felix, setelah teknik mendiagnosa penyakit pasien dikuasai, teknik pengobatan kemudian diajarkan. Ada dua cara, pertama teknik akupuntur dan yang kedua melalui ramuan herbal.Dalam akupuntur, pengobatan dilakukan dengan dua cara yang berbeda. Pertama, menggunakan jarum khusus yang ditusukkan ke titik-titik tertentu di bagian tubuh seperti lazimnya praktik akupuntur, kemudian ada juga yang menggunakan cerutu yang disebut moksa. Teknik yang kedua itu menggunakan cerutu yang terdiri dari campuran herbal berupa tanaman dan rumput obat. "Cerutu itu dibakar, kemudian didekatkan di titik-titik tubuh seperti akupuntur dengan jarum. Efek panasnya yang dipakai untuk menyembuhkan penyakit," jelasnya.Sementara untuk pengobatan herbal, Felix mengatakan, ramuan yang biasa digunakan terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mineral yang berasal dari batu-batuan. Untuk herbal, ada sekitar 300-400 tanaman dasar yang biasa digunakan. Tanaman ini berasal dari berbagai daerah di daratan China dan biasanya endemis. Sedangkan untuk hewan, banyak jenisnya, tergantung jenis penyakitnya. Untuk hewan biasanya digunakan bagian tubuh yang telah dikeringkan seperti kulit."Pengobatan herbal sebenarnya menggunakan bahan-bahan yang tersedia di alam. Yang bikin mahal adalah tanaman itu harus didatangkan dari tempat yang jauh untuk menjaga khasiat obat," katanya. Hingga kini, Felix mengaku masih mempelajari cara meramu berbagai jenis herbal tersebut.Di tahun-tahun akhir saat menjalani kuliah kedokteran tradisional, Felix juga menjalani praktik di salah satu rumah sakit milik universitas. Di China, rumah sakit-rumah sakit yang semuanya dimiliki pemerintah, menyediakan layanan khusus untuk pengobatan tradisional. Dia mempraktikkan ilmu akupuntur terutama untuk pasien-pasien yang mengalami stroke."Sebelum ke pasien, kita praktik dulu cara menusukkan jarum di tubuh kita sendiri supaya kita tahu gimana rasanya. Kemudian ke teman, baru setelah mahir dan lulus ujian akupuntur kita diperbolehkan menangani pasien," tuturnya.Belajar ilmu kedokteran China diakui dia sangat sulit. Buktinya, dari 200 mahasiswa angkatannya saat baru masuk, hanya tersisa 40 orang saat wisuda. "Sebagian besar tidak kuat di tengah jalan dan memilih mundur. Bahkan orang lokalnya yang tidak perlu belajar bahasa Mandarin lagi," imbuhnya.Meski begitu, ilmu pengobatan China ini menarik minat para mahasiswa asal berbagai negara. "Paling banyak asal Korea. Ada Amerika Serikat, Australia, Jerman, Prancis, Vietnam dan Singapura. Di angkatan saya ada tiga orang asal Indonesia," ujar Felix.Lulus kuliah pada pertengahan 2011, Felix kembali ke Depok, Jawa Barat, tempat asalnya. Gelar Chinese Medicine Doctor kini disandangnya. Meski tidak diakui dalam sistem pendidikan di Indonesia, Felix mengatakan telah mendapatkan sertifikasi dari pihak universitas, kementerian luar negeri China dan notaris lokal di Beijing untuk mengesahkan ijazahnya dan gelar yang dimilikinya."Pihak KBRI di Beijing juga mengeluarkan semacam legalisasi yang menerangkan saya betul-betul berkuliah dan meraih gelar dokter pengobatan tradisional China. Dengan ijazah ini, saya bisa berpraktik di rumah sakit di China, tapi kalau di Indonesia harus buka klinik sendiri," pungkasnya.
Sumber:
http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-wni-belajar-ilmu-tong-fang-di-beijing.html
Dia adalah perempuan tertua kedua di Inggris yang hidup dengan penyakit sindrom bawaan hipoventilasi pusat.
Emma Chell hidup selama 24 tahun dengan penyakit yang akan membunuhnya jika dia ketiduran.
Emma Chell, memiliki penyakit tidur sangat langka. Ia tidak pernah tertidur di depan televisi atau ketiduran di kereta.
Penderita penyakit langka ini lupa bernapas ketika mereka tertidur karena kesalahan dalam refleks saraf yang mengontrol pernapasan.
"Saya tahu saya tidak pernah bisa sembarangan tidur di suatu tempat karena saya akan mati," ujar Chell, yang menggunakan ventilator oksigen di malam hari.
"Jika saya mengantuk di siang hari, saya berjalan-jalan agar tetap terjaga."
Chell, dari Cheadle, Staffordshire, adalah salah satu penderita penyakit langka tertua di Inggris.
Ketika ia pergi tidur, dia menggunakan ventilator dengan masker khusus untuk membantunya bernafas.
Source:
http://www.beritasatu.com/kesehatan/62741-jika-tertidur-perempuan-ini-mati.html